Di indonesia, pada umumnya petani melakukan penenaman padi di sawah. Namun terdapat dua kategori sawah di Indonesia yaitu sawah irigasi dan sawah non irigasi. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat misalnya dari bendungan, waduk, Sungai dan lain sebagainya. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah (semi) teknis, dan sawah irigasi sederhana. Sementara sawah non irigasi yaitu lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada air alam seperti air hujan, pasang surutnya air sungai/laut, dan air rembesan (Pemprov Jateng, 2023). .
Menurut BPS tahun 2017, luas lahan sawah irigasi di Indonesia adalah 4.745.809 hektar, sedangkan luas lahan sawah non irigasi adalah 3.405.092 hektar, artinya berkisar 40% lahan sawah di Indonesia adalah lahan sawah non irigasi. Maka tentu ada perbedaan dalam budidaya padi di lahan sawah irigasi dan non-irigasi. Hal yang paling membedakan adalah ketersedian air yang tidak bisa diprediksi, sehingga muncul masalah yang sangat penting ketika penanaman di lahan swah non irigasi, yaitu gulma .
Menurut Disbun Jatim (2021), gulma adalah tumbuhan yang tumbuh di sekitar tanaman budidaya yang pertumbuhannya tidak dikehendaki dan umumnya merugikan karena dapat menghambat pertumbuhan, mengakibatkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi dan dapat menjadi sarang hama dan penyakit. Beberapa contoh gulma yang umum tumbuh dilahan sawah non irigasi adalah eceng (Monochoria vaginalis), tapak dara (Ludwigia octovalvis), gunda (Spenoclea zeylanica), jajagoan (Echinicloa sp), semanggen (Marsilea crenata), jukut pait (Paspalum conjugatum), dan teki (Cyperus iria).
Kehadiran gulma di sawah non-irigasi tentu sangat massif dibandingkan dengan sawah irigasi, karena air tidak dapat diatur pada swah non irigasi. Sehingga potensi populasi gulma pada tanaman utama bisa sangat besar dan menurunkan hasil panen secara signifikan. Menurut Pane et al pada tahun 2007, diperkirakan mencapai 15% bahkan kehilangan hasil dapat mencapai 86% jika tanpa pengendalian gulma.
Untuk mengatasi gulma secara total dan menyeluruh perlu dilakukan pengendalian yang efektif. Serendy 28 WP adalah herbisida sistemik pra dan purna tumbuh berbentuk tepung yang larut dalam air, berwarna putih, untuk mengendalikan gulma daun lebar, gulma daun sempit dan teki pada tanaman padi. Serendy mampu mengendalikan seluruh jenis gulma baik gulma daun sempit, lebar, dan teki-tekian. Keunikan serendy adalah dapat diaplikasikan dengan dua cara. Yang pertama adalah dengan dicampurkan pupuk, yang kedua dilakukan penyemprotan tepat diatas tanaman, karena Serendy adalah herbisida selektif untuk padi, dan telah terbukti sangat aman untuk tanaman padi, karena padi tetap hijau tanpa ada efek stress. Waktu aplikasi yang dianjurkan adalah 7 – 14 hari setalah tanam atau gulma berdaun 2-3.
Untuk gulma-gulma tertentu yang sangat sulit dikendalikan seperti jajagoan (Echinoloa sp), maka perlu ditambahan dengan Nugrass 69 EC. Nugrass merupakan herbisida sistemik purna tumbuh yang sangat tangguh dalam mengendalikan gulma golongan rumput-rumputan seperti jajagoan (Echinochloa sp.) dan timunan (Leptochloa sp.) sampai tuntas. Dengan menggunakan Nugrass, petani tidak perlu menyiangi sehingga biaya tenaga kerja bisa ditekan dan padi dapat berproduksi optimal.
Pencampuran Serendy dan Nugrass pada lahan sawah non irigasi sangat penting karena sangat berpengaruh untuk mengendalikan gulma yang sangat masih. Aplikasi produk ini, akan mampu menjaga kualitas tanaman dan hasil panen padi tetap maksimal.